Negara Patriarchy
Saya bukan pendukung feminisme.
Saya hanya tidak suka gagasan negara patriarchy, dimana ketika laki-laki yang bersalah maka kami kaum perempuanlah yang berdosa.
Saya bukan pendukung feminisme. Saya dulunya mengharapkan saya terlahir sebagai seorang laki-laki. Bukan karena saya memang benar ingin. Bukan pula karena orientasi seks atau semacamnya. Tapi bagi saya, di mata saya, menjadi laki-laki selalu menyenangkan. Kalian. Kaum laki-laki harusnya bersyukur.
Kebaikan sekelumit yang dilakukan laki-laki selalu bernilai luar biasa besar di mata sosial. Laki-laki, tidak bisa memasak, tidak rapi, ugal-ugalan, berkata kasar, acuh tak acuh, adalah hal biasa, dan hal tersebut tetap terlihat keren. Bukan merupakan suatu kesalahan. Tapi laki-laki bisa memasak, rapi, sopan, ramah, dan baik hati? Perfecto.
Pun sama di kancah pemerintahan, politik, kepemimpinan, laki-laki selalu bernilai lebih. Lebih netral, lebih logis. Lebih bisa diterima kaum manapun. Saya tidak menafikkan bahwa hal tersebut benar adanya. Nyatanya, perempuan lebih cepat baper a. k. a. bawa perasaan, lebih emosional, dan tingkat netralitasnya bisa dikatakan hampir selalu nol. Setiap seorang laki-laki biacara, entah seperti apa bentukannya ia pasti akan didengar. Berbeda dengan perempuan, suara mereka kecil, melengking, harus mengeluarkan lebih banyak effort untuk menarik simpati audience.
Bukan berarti terus perempuan bisa seenak jidat memiliki sifat yang sama sih, Itu namanya menghindari kodrat dan kewajiban. Sudah dibilang saya bukan feminis. Terserah deh mau bilang apa. Hanya saja, jadi laki-laki itu simpel. Kamu bermasalah? Pukul saja. Selesai. Berbeda dengan perempuan, kalau kamu salah, minta maaflah, tapi ingat, we do forgive, but never forget. Well, meskipun 'pukul' di sini tidak selalu berarti kegiatan fisik. Tidak juga berlaku untuk setiap laki-laki. Anggap ini generalisasi.
Tapi kebanyakan, memang lebih menyenangkan jadi laki-laki. Memimpin roda perputaran dunia. Meskipun, sekali lagi saya bukan feminis, nyatanya memang demikian bahwa secara fungsional biologis, kami berbeda.
Tunggu,
Saya tidak mau memperdebatkan gagasan feminis dan nonfeminis. Saya hanya mau bercerita mengenai si negara patriarchy. Dan mengapa saya begitu muaknya dengan gagasan itu. Hari ini.
Adik saya. Panggil dia Fatma. Adalah seorang anak perempuan yang usianya saat ini baru saja genap 5 tahun 3 hari yang lalu. Kalau saya bilang, dia masih kecil. Apa kamu setuju? Fatma, adalah tipikal anak perempuan yang sangat supel. Tapi dia tidak punya teman perempuan yang seumur dengannya. Banyak teman perempuannya, tapi usianya rata-rata 1-3 tahun di atasnya. Which is, adik saya masih TK dan teman-temannya ini sudah SD. Tapi memang, badan adik saya ini bongsor. Kalau suatu hari kamu bertemu dia, kamu bertanya ia kelas berapa, lalu ia menjawab kelas 1, maka aku yakin yang pertama kali terlintas di benakmu adalah, 1 SD, tanpa bantahan. Padahal yang ia maksud adalah 1 TK.
Adik saya ini, lebih sering bermain dengan teman-temannya yang pola pikirnya masih alike dengan pola pikirnya yang kanak-kanak yang artinya, belum bersekolah di SD. Kebanyakan, teman satu pola pikirnya ini adalah laki-laki. Anak-anak laki-laki. Usianya dari 1 tahun sampai yang sebaya dengan dia, 5 tahun.
Setiap hari, mereka bermain bersama. Nakal-nakalan. Terus baikan. Terus berantem lagi. Terus baikan lagi. Namanya juga anak-anak. Tapi yang membuat saya geram adalah, setiap malam, saat sholat tarawih, adik saya ini tidak berhenti bermain bersama teman-temannya itu. Berlari-lari di masjid main kejar-kejaran katanya. Bukan. Bukan karena adik saya bermain yang membuat geram. Saya rasa itu adalah bentuk pembiasaan diri sebab ia masih umur 5. Setidaknya dia menyenangi masjid dengan cara begitu.
Saya geram karena, setiap kali adik saya dirasa membuat keributan, ibu-ibu yang memergoki adik saya bermain akan menatap nanar kepada saya terkadang berujar pendek menyebutkan nama adik saya, sebagai kode, saya harus menenangkan adik saya.Lantas saya mendekati adik saya dengan keadaan gusar. Awalnya saya gusar sebab adik saya tidak bisa mengkondisikan dirinya sendiri untuk tetap tenang. Tapi lantas ketika saya mengingatkan adik saya, saya mendengar jawabannya dan melihat buktinya dengan mata saya sendiri.
"Aku udah diem. Tapi dia itu lho, nakal, narik-narik bajuku."
Benar. Temannya ini memang perlu diajari. Diberi pengertian, kalau apa yang dia lakukan itu salah. Sedangkan adik saya, hanya mencoba untuk melawan sebagai bentuk pertahanan diri. Apakah itu salah? Dia sudah diam. Tapi teman-temannya ini mereka selalu saja memaksa, menarik, meledeki adik saya kalau dia hanya diam di situ. Apakah benar apa yang dilakukan si anak laki-laki itu tadi? Mengganggu adik saya yang berusaha untuk mengikuti setiap gerakan sholat imam?
Tapi tidak. Anak laki-laki itu selalu dibiarkan. Ia tidak pernah terlihat salah. Tapi adik saya? Apa kata mereka? Masa perempuan lari-lari di depan? Toh usianya baru 5! Salah apa adik saya? Harusnya ibu datangi orangtua si anak laki-laki itu dan bilang padanya bahwa anaknya perlu diberi pengertian, instead of memelototi adik saya dan membuatnya bermental kecil dan takut terhadap posisi laki-laki. Superioritas laki-laki.
Sama dengan kasus perkosaan. Setiap terjadi kasus demikian, letakkan siapa yang paling hancur setelah perbuatan nista itu? Perempuan. Korban perkosaan, apa masih punya tempat di mata masyarakat? No. Tempat mereka tidak akan pernah sama dari tempat sebelumnya. Siapa pula mau menerima dia si korban setalah apa yang terjadi dengannya? Laki-laki mana yang mau menerima? Ibu mertua mana mau menerima? Masyarakat mana mau menerima? Hidupnya, tidak akan pernah bebas dari gunjingan. Kalau boleh dibilang, hidupnya hancur. Karena siapa? superioritas laki-laki. Kurang ajar betul sampai hati orang-orang itu melakukan hal nista demikian.
Pun sama. Ketika seorang istri ditinggalkan suami, dari pihak si istri, suami lah yang bersalah. Tapi di pihak masyarakat, dari pihak keluarga suami, dan bahkan keluarga istri sendiri, istri itulah yang salah. Istri tidak becus mengurus rumah tangga, istri tidak berhasil memuaskan suami, istri salah memilih suami, mau-maunya istri menikah dengan suami. Semua salah si istri. Jahat betul. Pernahkah mengubah cara pandang yang lain? Bisa jadi memang suaminya yang khilaf, bisa jadi memang suaminya yang kurang ajar, mengapa jadi salah istri? Kalau memang tidak becus, mengapa tidak diajari? Jika memang sudah tidak lagi cantik, memang dulu menikah karena apa? Berani betul mengambil janji yang bahkan itu disaksikan Tuhan hanya karena rupa? Bukannya dia juga yang melamar duluan? Harusnya suami juga yang mempertanggungjawabkan.
Makanya. Kalian laki-laki, hati-hati betul dengan amanah gender yang kalian miliki itu. Bukan karena saya tidak bersyukur terkahir sebagai perempuan, tapi karena saya sangat sayang dengan perempuan sehingga saya berpesan demikian.
Tolong ubah beberapa derajat sudut pandangmu, coba lihat kemungkinan penyebab sesuatu terjadi dan apa yang sebanr-benarnya terjadi. Kalau Anda peduli, mungkin Anda juga bisa memulai dari berhenti memelototi adik saya, rengkuh dia dan bela dia di hadapan si anak laki-laki itu. Saya yakin itu akan jadi pelajaran bagus buat si anak laki-laki bahwa apa yang dia lakukan itu salah. Dan jelas itu akan membesarkan hati adik saya yang bahkan setelah dimarahi pun gurat cerianya tidak pernah hilang dari wajahnya.
Sekali lagi saya bukan feminis. Hanya geram dengan negara patriarchy.
Udah sih. Intinya cuma mau cerita.
Comments
Post a Comment