Kejar, Lari, Ambil! [Bagian 2]
Postingan sebelumnya: Kejar, Lari, Ambil! [Bagian 1]
Tidak lama dari penutupan registrasi beasiswa tersebut, peserta yang lolos tahap seleksi satu diumumkan. Lantas saya bertemu kembali dengan senior saya itu. Saya mengabarkan bahwa hari ini adalah hari pengumumannya. Lantas si senior bertanya, pertanyaannya mengiris hati, menampar batin. Serius. Nggak bohong.
"Iya hari ini pengumumannya. Tadi aku membaca, tapi aku tidak menemukan namamu di situ. Apakah aku salah membaca? Atau..."
Pertanyaan menggantung itu seketika menghunjam jantungku. Tsaah.
Serius. Waktu mendengar itu, sakitnya bukan main. Tertohok yang benar-benar tertohok. Di kepala saya waktu itu sudah ada ilustrasi panah yang tiba-tiba menusuk entah dari mana tepat di jantung saya.
"Lha iya mbak, kemarin katanya nggak usah daftar?"
Waktu itu ya, kalau wajah saya bisa dibentuk emote, emote yang amat sangat menggambarkan adalah emote ini [ :') ]. Saking tidak tahunya harus berkata apa. Lantas senior saya menjawab dengan jawaban yang jauh lebih menohok, dari pada pertanyaannya barusan. Serius. Waktu itu, saya amat sangat hampa. Begini jawabannya,
"Oh itu? Hahaha, waktu itu aku cuma mau menguji sekuat apa kemauanmu."
Ha.ha.ha. Krompyang. Grusak. BRAK!
Itu suara kepingan hati saya yang hancur. Serius. Itu adalah fase hancur sehancur-hancurnya hancur. Bukan, bukan karena senior saya menyampaikannya dengan tertawa, bukan, bukan sepenuhnya karena saya tidak jadi mendaftar, boro-boro lolos, beasiswa itu. Bukan sama sekali. Tapi saya hancur mengetahui sesungguhnya, bahwa keinginan saya tidak cukup kuat. Rasanya tuh kayak... kamu kalah dari dirimu sendiri. Kekalahan yang telak. Lebih dari apapun. Bentuk kekalahan dimana saya melewatkan kesempatan saya.
Lemas. Iya sudah segitu saja yang saya rasakan.
Setelah hari itu, hidup saya semakin tidak tenang. Saya mulai kembali mengingat-ingat pengalaman-pengalaman saya dalam mengambil keputusan. Setelah saya ingat-ingat rupanya tidak begitu banyak keputusan besar yang saya ambil. Tidak cukup besar dibandingkan keputusan-keputusan yang teman-teman saya biasa ambil. Permasalahannya adalah, tingkat kecepatan saya mencapai fase ikhlas. Semua-muanya saja saya kaitkan dengan takdir. Qadarullah. Sehingga mudah saja saya menerima dan mencoba untuk mencari jalan lain dari kemungkinan pilihan yang ada.
Di situ saya sadar bahwa pola pikir saya tidak cukup luas sehingga menafikkan kemungkinan lain untuk mendobrak batasan 'takdir' yang saya buat. Saya bisa mengusahakannya. Kalau saya mau. Kalau, saya, mau. Itu masalahnya. Bukankah masih ada kata ikhtiar?
Sekarang, pertanyaan berikutnya yang masih belum terjawab adalah, sebatas mana suatu hal dapat kita ikhtiarkan? Sejauh apa batas ikhtiar itu? Lantas kapan kita dapat menghela napas seraya berkata, itu adalah takdir Allah? Hmm. Saya tidak menyangka postingan ini akan jadi jauh lebih serius dari sekadar curhatan gaje. Biar saya simpan pertanyaan tersebut selagi saya mencari titik terang jawabannya.
Poin masalah yang lain adalah, mimpi. When you can dream it, you can do it. Meskipun banyak yang bermimpi, tapi nyatanya tidak semua bisa mewujudkan mimpi. Mimpi. Kekanak-kanakan banget, ya? But well, that was my savior back then when I was a kid. I almost forget. Ah wait, I've just forgotten for what I've been dreaming back then.
Saya percaya takdir. Sangat amat percaya. Saya percaya bahwa semuanya sudah tertulis sejak lauhul mahfudz. Tapi, ada satu yang dapat mengubah takdir. Do'a. Bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, sebab semuanya terhubung satu sama lain membentuk rantai kosmis yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Akhir dari postingan berat ini adalah, bahwa dua postingan tidak pernah cukup untuk menjelaskan hal tersebut. Postingan ini diakhiri memang karena saya saja yang sedang tidak dalam good mood untuk menyertakan beberapa literasi terkait. Mungkin postingan berikutnya? Entah. Memang siapa yang tahu saya masih hidup pada postingan yang selanjutnya?
Nah. Sebagai penutup, penyemangat untuk siapapun kamu di luar sana yang berpikir bahwa semua hal yang terjadi adalah takdir dan karenanya kamu tidak beranjak dari zona nyamanmu,
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaihi wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065) [Eramuslim, 2014].
"Iya hari ini pengumumannya. Tadi aku membaca, tapi aku tidak menemukan namamu di situ. Apakah aku salah membaca? Atau..."
Pertanyaan menggantung itu seketika menghunjam jantungku. Tsaah.
Serius. Waktu mendengar itu, sakitnya bukan main. Tertohok yang benar-benar tertohok. Di kepala saya waktu itu sudah ada ilustrasi panah yang tiba-tiba menusuk entah dari mana tepat di jantung saya.
"Lha iya mbak, kemarin katanya nggak usah daftar?"
Waktu itu ya, kalau wajah saya bisa dibentuk emote, emote yang amat sangat menggambarkan adalah emote ini [ :') ]. Saking tidak tahunya harus berkata apa. Lantas senior saya menjawab dengan jawaban yang jauh lebih menohok, dari pada pertanyaannya barusan. Serius. Waktu itu, saya amat sangat hampa. Begini jawabannya,
"Oh itu? Hahaha, waktu itu aku cuma mau menguji sekuat apa kemauanmu."
Ha.ha.ha. Krompyang. Grusak. BRAK!
Itu suara kepingan hati saya yang hancur. Serius. Itu adalah fase hancur sehancur-hancurnya hancur. Bukan, bukan karena senior saya menyampaikannya dengan tertawa, bukan, bukan sepenuhnya karena saya tidak jadi mendaftar, boro-boro lolos, beasiswa itu. Bukan sama sekali. Tapi saya hancur mengetahui sesungguhnya, bahwa keinginan saya tidak cukup kuat. Rasanya tuh kayak... kamu kalah dari dirimu sendiri. Kekalahan yang telak. Lebih dari apapun. Bentuk kekalahan dimana saya melewatkan kesempatan saya.
Lemas. Iya sudah segitu saja yang saya rasakan.
Setelah hari itu, hidup saya semakin tidak tenang. Saya mulai kembali mengingat-ingat pengalaman-pengalaman saya dalam mengambil keputusan. Setelah saya ingat-ingat rupanya tidak begitu banyak keputusan besar yang saya ambil. Tidak cukup besar dibandingkan keputusan-keputusan yang teman-teman saya biasa ambil. Permasalahannya adalah, tingkat kecepatan saya mencapai fase ikhlas. Semua-muanya saja saya kaitkan dengan takdir. Qadarullah. Sehingga mudah saja saya menerima dan mencoba untuk mencari jalan lain dari kemungkinan pilihan yang ada.
Di situ saya sadar bahwa pola pikir saya tidak cukup luas sehingga menafikkan kemungkinan lain untuk mendobrak batasan 'takdir' yang saya buat. Saya bisa mengusahakannya. Kalau saya mau. Kalau, saya, mau. Itu masalahnya. Bukankah masih ada kata ikhtiar?
Sekarang, pertanyaan berikutnya yang masih belum terjawab adalah, sebatas mana suatu hal dapat kita ikhtiarkan? Sejauh apa batas ikhtiar itu? Lantas kapan kita dapat menghela napas seraya berkata, itu adalah takdir Allah? Hmm. Saya tidak menyangka postingan ini akan jadi jauh lebih serius dari sekadar curhatan gaje. Biar saya simpan pertanyaan tersebut selagi saya mencari titik terang jawabannya.
Poin masalah yang lain adalah, mimpi. When you can dream it, you can do it. Meskipun banyak yang bermimpi, tapi nyatanya tidak semua bisa mewujudkan mimpi. Mimpi. Kekanak-kanakan banget, ya? But well, that was my savior back then when I was a kid. I almost forget. Ah wait, I've just forgotten for what I've been dreaming back then.
Saya percaya takdir. Sangat amat percaya. Saya percaya bahwa semuanya sudah tertulis sejak lauhul mahfudz. Tapi, ada satu yang dapat mengubah takdir. Do'a. Bahwa tidak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini, sebab semuanya terhubung satu sama lain membentuk rantai kosmis yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya.
Akhir dari postingan berat ini adalah, bahwa dua postingan tidak pernah cukup untuk menjelaskan hal tersebut. Postingan ini diakhiri memang karena saya saja yang sedang tidak dalam good mood untuk menyertakan beberapa literasi terkait. Mungkin postingan berikutnya? Entah. Memang siapa yang tahu saya masih hidup pada postingan yang selanjutnya?
Nah. Sebagai penutup, penyemangat untuk siapapun kamu di luar sana yang berpikir bahwa semua hal yang terjadi adalah takdir dan karenanya kamu tidak beranjak dari zona nyamanmu,
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaihi wa sallam: “Tidak ada yang dapat menolak taqdir (ketentuan) Allah ta’aala selain do’a. Dan Tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (HR Tirmidzi 2065) [Eramuslim, 2014].
Comments
Post a Comment