Kejar, Lari, Ambil! [Bagian 1]
Huft.
Keren ya. Kalian tuh. Bikin ngiri. Astaghfirullah. Aku mah apa? Remah rengginang aja nggak level :( Hmm, jadi begini alur ceritanya. Suatu hari yang cerah,
'Eh halo. Sekarang kelas berapa?'
Oh c'mon. Aku nggak terlihat sechubby dan se-imut itu sampai setiap bertemu dengan orang pertanyaan yang pertama kali terlontar adalah 'kelas berapa' bukan 'studi di mana' atau 'ambil prodi apa' atau' kuliah dimana' atau yang lebih konkret lagi, 'semester berapa' .
'Kuliah, mbak.' 'Kuliah, pak.'
'Kuliah, tan.' 'Kuliah, oom.'
'Oh. Haha. Maaf maaf.'
'Oh, kamu suka nggambar. Kok nggak masuk FSRD aja? Atau arsi?'
Nggak sekalian tanya kenapa enggak SAPPK? Lebih ngena gitu :')
Kalau kamu tanya kenapa sekali lagi, jawabannya simpel. Karena nggak diizinkan ibu. Karena ITB itu jauh. Kenapa enggak yang di UGM saja? Oke, oke, aku ngaku karena aku realistis dengan nilai matematika saya yang tiba-tiba tidak bisa dikondisikan saat kelas 3 SMA. Dengan pemahaman saya yang super cethek mengenai matematika itu, mana berani ambil teknik dan jajarannya?
Makanya cari jalan lain. Cari kemungkinan lain. Dengan kemampuan dan cara bertahan hidup saya yang saat itu, baiknya apa yang harus dipilih. Dengan banyak sekali pertimbangan, seperti yang saya pernah pos sebelum-sebelumnya, pilihan pun jatuh pada farmasi.
Alhamdulillah, sebab rahmat Allah jadilah takdir berkata saya diterima.
Bagaimana dengan karir menggambar di SAPPK atau mungkin FSRD? Sabar. Bisa dilanjutkan sebagai hobi. Mudah saja. Mungkin memang harus begini ceritanya. Kandaslah, technically, karir saya di bidang penggambaran. Nggak ikut SBM? Utul? Untuk memperjuangkan?
Buat apa? Saya sudah ikhlas.
So then, case closed.
Lalu setelah masuk di farmasi, saya kembali dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kembali disodorkan kemungkinan-kemungkinan. Sekali lagi, hidup saya serba nggak pasti. Setiap kali disodorkan dengan pilihan saya tidak pernah benar-benar tahu akan membawa kemana kah pilihan saya itu. Karenanya, lebih sering saya merasa bahwa, why do life is so uncertain? Dan gagasan itu cukup membuat panik akan semakin tingginya ketidakjelasan hidup saya sekarang ini.
Salah satu pilihan paling menohok, menampar saya menjadi alasan ditulisnya postingan kali ini. Why? Suatu hari, saya mendapatkan broadcast mengenai pendaftaran beasiswa suatu lembaga muslim. Kalau saya sebut inisialnya, tunggu, nama aslinya memang cuma rentetan inisial yang terdiri dari dua huruf, jadi... pasti akan sangat terbaca. Sementara saya sebut saja lembaga beasiswa begitu? Oke.
Saat itu, saya amat sangat excited dengan informasi tersebut. Kondisi finansial keluarga saya tidak begitu baik. Pada saat itu. Dan by the way program yang ditawarkan dari beasiswa itu cukup menarik, meninggikan aspek tawazun dalam belajar, berkarya, dan beribadah. Selain itu ada beberapa orang yang saya kenal dari banyak alumni keluaran pemegang beasiswa itu. Tidak banyak, tapi cukup membuat mata saya terbelalak begitu mendapatkan informasi tersebut. Bonusnya, banyak alumni program beasiswa itu memiliki catatan karir yang luar biasa cemerlang dengan tidak melupakan aspek religiusnya.
Tidak langsung memutuskan apakah saya akan mendaftar sebab syarat yang diajukan adalah tinggal di asrama. Lagi-lagi ibu belum mengeluarkan feedback positif. Meskipun tidak juga bisa dikategorikan negatif. Izin saya tertahan. Sembari itu saya mencoba menguatkan pilihan saya dengan bertanya dengan teman-teman sekitar saya, malah ada yang memberikan informasi sumbang bahwa syarat asrama yang ditawarkan itu dipungut biaya. Ciutlah nyali saya. Maksud hati ingin meringankan beban orangtua, malah jadi memberatkan. Maka kontemplasi itu tertunda.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan kenalan alumni penerima beasiswa yang saya maksudkan di atas. Setelah bertanya basa basi, lantas saya menanyakan pada beliau perihal beasiswa tersebut. Beberapa kali saya bertanya, dan berkali-kali pula beliau bilang,
"Nggak usah, hidup di sana itu berat, nak."
Tiga kali tepatnya, jawaban itu begitu meyakinkan. Atau karena saya hanya butuh justifikasi atas pola jawaban yang terbentuk di otak saya? Sehingga mudah betul saya menyimpulkan bahwa maksud pesan senior saya itu adalah sebuah larangan? Atau karena nyali saya terlalu ciut untuk berkomitmen di dalamnya? Hmm, teryata sakit juga, ya, mengatai diri sendiri ciut nyali? Sebab itu adalah fakta.
Kontemplasi itu tidak membutuhkan waktu lama sampai membuahkan hasil sebuah aksi nyata berupa mengurungkan niat untuk mendaftar beasiswa tersebut.
So then, case closed.
Eh lha? Emang bener, case closed?
Ternyata tidak kawan-kawan. case tersebut adalah awal dari kontemplasi panjang berikutnya yang melelahkan dan meremukkan hati dan bahkan jawabannya masih dicari hingga kini. Karena takut postingannya memelahkan untuk dibaca, yang selanjutnya ada di post berikut ini: Kejar, Lari, Ambil! [Bagian 2]
Keren ya. Kalian tuh. Bikin ngiri. Astaghfirullah. Aku mah apa? Remah rengginang aja nggak level :( Hmm, jadi begini alur ceritanya. Suatu hari yang cerah,
'Eh halo. Sekarang kelas berapa?'
Oh c'mon. Aku nggak terlihat sechubby dan se-imut itu sampai setiap bertemu dengan orang pertanyaan yang pertama kali terlontar adalah 'kelas berapa' bukan 'studi di mana' atau 'ambil prodi apa' atau' kuliah dimana' atau yang lebih konkret lagi, 'semester berapa' .
'Kuliah, mbak.' 'Kuliah, pak.'
'Kuliah, tan.' 'Kuliah, oom.'
'Oh. Haha. Maaf maaf.'
'Oh, kamu suka nggambar. Kok nggak masuk FSRD aja? Atau arsi?'
Nggak sekalian tanya kenapa enggak SAPPK? Lebih ngena gitu :')
Kalau kamu tanya kenapa sekali lagi, jawabannya simpel. Karena nggak diizinkan ibu. Karena ITB itu jauh. Kenapa enggak yang di UGM saja? Oke, oke, aku ngaku karena aku realistis dengan nilai matematika saya yang tiba-tiba tidak bisa dikondisikan saat kelas 3 SMA. Dengan pemahaman saya yang super cethek mengenai matematika itu, mana berani ambil teknik dan jajarannya?
Makanya cari jalan lain. Cari kemungkinan lain. Dengan kemampuan dan cara bertahan hidup saya yang saat itu, baiknya apa yang harus dipilih. Dengan banyak sekali pertimbangan, seperti yang saya pernah pos sebelum-sebelumnya, pilihan pun jatuh pada farmasi.
Alhamdulillah, sebab rahmat Allah jadilah takdir berkata saya diterima.
Bagaimana dengan karir menggambar di SAPPK atau mungkin FSRD? Sabar. Bisa dilanjutkan sebagai hobi. Mudah saja. Mungkin memang harus begini ceritanya. Kandaslah, technically, karir saya di bidang penggambaran. Nggak ikut SBM? Utul? Untuk memperjuangkan?
Buat apa? Saya sudah ikhlas.
So then, case closed.
Lalu setelah masuk di farmasi, saya kembali dihadapkan pada pilihan-pilihan. Kembali disodorkan kemungkinan-kemungkinan. Sekali lagi, hidup saya serba nggak pasti. Setiap kali disodorkan dengan pilihan saya tidak pernah benar-benar tahu akan membawa kemana kah pilihan saya itu. Karenanya, lebih sering saya merasa bahwa, why do life is so uncertain? Dan gagasan itu cukup membuat panik akan semakin tingginya ketidakjelasan hidup saya sekarang ini.
Salah satu pilihan paling menohok, menampar saya menjadi alasan ditulisnya postingan kali ini. Why? Suatu hari, saya mendapatkan broadcast mengenai pendaftaran beasiswa suatu lembaga muslim. Kalau saya sebut inisialnya, tunggu, nama aslinya memang cuma rentetan inisial yang terdiri dari dua huruf, jadi... pasti akan sangat terbaca. Sementara saya sebut saja lembaga beasiswa begitu? Oke.
Saat itu, saya amat sangat excited dengan informasi tersebut. Kondisi finansial keluarga saya tidak begitu baik. Pada saat itu. Dan by the way program yang ditawarkan dari beasiswa itu cukup menarik, meninggikan aspek tawazun dalam belajar, berkarya, dan beribadah. Selain itu ada beberapa orang yang saya kenal dari banyak alumni keluaran pemegang beasiswa itu. Tidak banyak, tapi cukup membuat mata saya terbelalak begitu mendapatkan informasi tersebut. Bonusnya, banyak alumni program beasiswa itu memiliki catatan karir yang luar biasa cemerlang dengan tidak melupakan aspek religiusnya.
Tidak langsung memutuskan apakah saya akan mendaftar sebab syarat yang diajukan adalah tinggal di asrama. Lagi-lagi ibu belum mengeluarkan feedback positif. Meskipun tidak juga bisa dikategorikan negatif. Izin saya tertahan. Sembari itu saya mencoba menguatkan pilihan saya dengan bertanya dengan teman-teman sekitar saya, malah ada yang memberikan informasi sumbang bahwa syarat asrama yang ditawarkan itu dipungut biaya. Ciutlah nyali saya. Maksud hati ingin meringankan beban orangtua, malah jadi memberatkan. Maka kontemplasi itu tertunda.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan kenalan alumni penerima beasiswa yang saya maksudkan di atas. Setelah bertanya basa basi, lantas saya menanyakan pada beliau perihal beasiswa tersebut. Beberapa kali saya bertanya, dan berkali-kali pula beliau bilang,
"Nggak usah, hidup di sana itu berat, nak."
Tiga kali tepatnya, jawaban itu begitu meyakinkan. Atau karena saya hanya butuh justifikasi atas pola jawaban yang terbentuk di otak saya? Sehingga mudah betul saya menyimpulkan bahwa maksud pesan senior saya itu adalah sebuah larangan? Atau karena nyali saya terlalu ciut untuk berkomitmen di dalamnya? Hmm, teryata sakit juga, ya, mengatai diri sendiri ciut nyali? Sebab itu adalah fakta.
Kontemplasi itu tidak membutuhkan waktu lama sampai membuahkan hasil sebuah aksi nyata berupa mengurungkan niat untuk mendaftar beasiswa tersebut.
So then, case closed.
Eh lha? Emang bener, case closed?
Ternyata tidak kawan-kawan. case tersebut adalah awal dari kontemplasi panjang berikutnya yang melelahkan dan meremukkan hati dan bahkan jawabannya masih dicari hingga kini. Karena takut postingannya memelahkan untuk dibaca, yang selanjutnya ada di post berikut ini: Kejar, Lari, Ambil! [Bagian 2]
Comments
Post a Comment