Kenapa anak Advo?

Kamu anak departemen advo?
Kamu bercanda, ya?

Bercanda? Mungkin. 
Tapi saya tidak sedang bercanda.

Iya. Sudah biasa. Adalah pertanyaan pertama yang terlontar ketika saya menjawab pertanyaan 'Kamu di BEM departemen apa?' adalah pertanyaan yang sering saya dengar setelah pertanyaan, 'Sekarang kelas berapa?

Sudah kebal. 

Anyway, saya juga tudak pernah mengerti apa yang terjadi dan berkembang di masyarakat mengenai saya. How social defined meThey don;t know who I am, but they judge me less than a secBut hey, that's how social works. Apa yang salah dengan menjadi alumni Padmanaba yang senang menggunakan pakaian semi syar'i -kalau tidak bisa dibilang syar'i- dan senang mengaji? Apa yang salah dengan muslimah berjilbab yang tahu lagu simple plan? Apa yang salah dengan muslimah berjilbab menyampaikan aspirasinya dan berkontemplasi mengenai alam? Mentadabburi makhluk ciptaan Allah? Mentafakuri fenomena sosial yang terjadi di masyarakatnya, dan mencoba untuk mempunyai pola pikir yang terbuka tetapi tidak goyah akan prinsipnya?

Toh nyatanya masih ada saja yang refleks menyimpan dalam memori bahwa saya alumni SMA tetangga. Toh nyatanya masih ada saja yang melihat aneh cara saya berpikir. Toh nyatanya ada pula yang berpikir bahwa mungkin otak saya korsletWell, yang terakhir agak berlebihan tapi ya.

Tapi, fan, dari semua, kenapa advo? Sejak kapan kamu suka demo? Bukannya...
Kenapa advo? Karena dia. Karena mereka. Oke. Memang awalnya saya nggak melihat advo sebagai suatu divisi. Saya melihat atmosphere yang tercipta di dalamnya. Kultuf diskusi yang tolerir, Entahlah, saya pikir pasti akan seru. Sesimpel itu.

Karena buat saya akan percuma kamu diterima di organisasi bergengsi kalau kamu nggak bisa fit in dan merasa asing. Diperlukan kultur yang mendukung dan sumber kehidupan yang mencukupi untuk bisa survive di dalamnya. Dan saya menemukan itu pada divisi ini. Meskipun, saya tahu pun tidak mudah bekerja dengan orang-orang hebat itu. Disitulah tantangannya. Saya belajar untuk mengimbangi kehebatan mereka dan kelak, berdiri sejajar dengan tempat mereka berdiri.

Doc. pribadi | Taken by Insight Photography


Lihat! Wajah-wajah yang beragam dan ekspresif. Lihat tho. Bahagia banget, kan? That's why saya masih bertahan di sini. Mudah? Nobody said so. Bekerja yang terus-terusan membawa pikiran logika, berkejaran dengan deadline, dan masalah-masalah yang kadang datang super mendadak, siapa yang bilang mudah? Bekerja dengan orang-orang dengan beragam sifat dan kepribadian, siapa bilang mudah?

Tapi saya senang bisa bertemu mereka. They are my very first circumstance. Almost my very first ally. Dengan menekan segala prejudice yang sempat mampir di kepala saya, saya mencoba untuk keluar dari comfort zone saya. Dan di sinilah saya. Belajar bagaimana cara menyampaikan pendapat di muka umum. Literary di muka umum. Orasi, agitasi, sampai menyusun rencana unjuk massa. Tidak ada salahnya, kan, memperluas khasanah berpikir?

Dalam lingkungan yang lebih besar di kancah forum advokasi pun tidak habis-habisnya saya belajar. Tanggap dengan isu, peduli dengan sebuah masalah, dan mencoba memecahkan masalah tersebut. Benar-benar mencoba. Memperjuangkan. Suatu pelajaran, poin penting yang saya pelajari setahun terakhir. Memperjuangkan apa yang menjadi hak kita, menjadi keinginan kita, impian kita.

Nah. Karena keberadaan saya yang sangat beralasan di situ, dan tentunya, saya punya misi dan visi yang saya sendiri ingin wujudkan selama saya bergabung di dalam tim, saya bertahan.

Jadi kalau ada yang bertanya lagi,
'Kamu anak advo?'
'Iya.'

Comments

Popular posts from this blog

70 Tahun

Pewean

Apakah kamu baik-baik saja?