Day #11 Partner Laylatul Qadar Hunter
Iya. Sudah memasuki 10 malam terakhir Ramadhan. Means? Laylatul Qadar is coming, I'tikaf every where. Dan tahun ini, setelah tahun kemarin pertama kalinya mengikuti i'tikaf, saya punya partner untuk diajak tangi mbengi-mbengi. Dan itu alasan mengapa saya memutuskan untuk enggak ikut i'tikaf di luar. Toh i'tikaf di masjid manapun sama saja bukan?
Mumpung tahun ini punya partner berjuang melawan kantuk di tengah malam buat tetap terjaga di dalam masjid. Partner berjuang melawan hawa dingin yang ternyata suhunya sampai 18 derajat celcius. That's gross! Uadem banget, rek!
--
Anyway, saya libur dari writting challenge sudah berhari-hari. Hiatus yang sudah tidak bisa dimaklumi. Meh. Sebenarnya banyak ide yang berkelebatan di kepala ini menunggu untuk digasak. Tapi karena ya itu, di kepala saya yang ada enggak cuma nulis. Ada nggambar, main musik, masak, semuanya jadi campur aduk.
--
Karena kali ini adalah tulisan saya setelah lama sekali hiatus, jadi maafkan kalau tiba-tiba plot alur penceritaannya jadi berantakan.
Seperti misalnya, pagi ini setelah saya menuliskan paragraf kedua dalam post ini saya sadar, saya enggak fokus. Pikiran saya nggak fokus. Kebanyakan ide. Ini efek membaca komik artwork dari seorang teteh-teteh bandung yang mantap pisan. Komiknya punya jalan cerita dan gaya penceritaan yang hampir sama dengan komik-komik curhataan gaje yang saya buat. Bedanya, artworknya sangat luar biasa, sedang saya, ya cuma setengah-setengah.
Nah, yang membuat sekarang pikiran saya mulai berkelebat lagi karena ternyata background story dari si teteh komikusnya sendiri sangat tough. Dari lulus SMA ayah beliau kena PHK, umminya enggak ngebolehin dia buat jadi komikus. Akhirnya masuk pondok, dan seperti yang kita tahu, mana mungkin di pondok teh dibolehin ngegambar atuh?
Sedangkan saya, sekolah juga sekolah biasa, fasilitas juga alhamdulillah ada, ternyata juga masih setengah-setengah aja tuh artworknya.
||Ouy, kamu itu mau jadi farmasis, malah sibuk ngegambar.
Iya bener juga sih. Harusnya saya belajar farmakope saja. Malah baca komik. Malah ngegambar. Naon atuh teh? Aish. Sekarang saya terdiam. Mau melakukan pembelaan apa lagi?
Akhirnya yang terjadi adalah,
'saya memang tetap akan belajar farmasi sampai rampung sampai pro. Sampai bisa ke Jepang, Jerman, terus balik lagi ke Indonesia mau mengembangkan obat herbal, buka cafe, jadi ibu yang baik yang mengerti kegunaan dan fungsi efektif obat tanpa meninggalkan kegemaran saya menggambar di atas bidang gambar.'
Nah ya sementara begitu dulu. Utopis? Sudah biasa. Kalau tidak ada standar utopis, kalau standarnya sudah tidak ideal, mau seperti apa pelaksanaannya? Nah lho!
Mumpung tahun ini punya partner berjuang melawan kantuk di tengah malam buat tetap terjaga di dalam masjid. Partner berjuang melawan hawa dingin yang ternyata suhunya sampai 18 derajat celcius. That's gross! Uadem banget, rek!
--
Anyway, saya libur dari writting challenge sudah berhari-hari. Hiatus yang sudah tidak bisa dimaklumi. Meh. Sebenarnya banyak ide yang berkelebatan di kepala ini menunggu untuk digasak. Tapi karena ya itu, di kepala saya yang ada enggak cuma nulis. Ada nggambar, main musik, masak, semuanya jadi campur aduk.
--
Karena kali ini adalah tulisan saya setelah lama sekali hiatus, jadi maafkan kalau tiba-tiba plot alur penceritaannya jadi berantakan.
Seperti misalnya, pagi ini setelah saya menuliskan paragraf kedua dalam post ini saya sadar, saya enggak fokus. Pikiran saya nggak fokus. Kebanyakan ide. Ini efek membaca komik artwork dari seorang teteh-teteh bandung yang mantap pisan. Komiknya punya jalan cerita dan gaya penceritaan yang hampir sama dengan komik-komik curhataan gaje yang saya buat. Bedanya, artworknya sangat luar biasa, sedang saya, ya cuma setengah-setengah.
Nah, yang membuat sekarang pikiran saya mulai berkelebat lagi karena ternyata background story dari si teteh komikusnya sendiri sangat tough. Dari lulus SMA ayah beliau kena PHK, umminya enggak ngebolehin dia buat jadi komikus. Akhirnya masuk pondok, dan seperti yang kita tahu, mana mungkin di pondok teh dibolehin ngegambar atuh?
Sedangkan saya, sekolah juga sekolah biasa, fasilitas juga alhamdulillah ada, ternyata juga masih setengah-setengah aja tuh artworknya.
||Ouy, kamu itu mau jadi farmasis, malah sibuk ngegambar.
Iya bener juga sih. Harusnya saya belajar farmakope saja. Malah baca komik. Malah ngegambar. Naon atuh teh? Aish. Sekarang saya terdiam. Mau melakukan pembelaan apa lagi?
Akhirnya yang terjadi adalah,
'saya memang tetap akan belajar farmasi sampai rampung sampai pro. Sampai bisa ke Jepang, Jerman, terus balik lagi ke Indonesia mau mengembangkan obat herbal, buka cafe, jadi ibu yang baik yang mengerti kegunaan dan fungsi efektif obat tanpa meninggalkan kegemaran saya menggambar di atas bidang gambar.'
Nah ya sementara begitu dulu. Utopis? Sudah biasa. Kalau tidak ada standar utopis, kalau standarnya sudah tidak ideal, mau seperti apa pelaksanaannya? Nah lho!
Comments
Post a Comment