(30 days writting chalenge) DAY #1
![]() |
doc. google browser |
Aku tidak benar-benar tahu kapan hal ini bermula. Ketika kudapati duniaku tidak lagi semenakjubkan rimba, nyanyian pohon, tarian peri, dan warna pelangi. Duniaku kini tidak lagi sesederhana duniaku yang dulu. Dunia yang kukenali dulu adalah sebuah bilik luas, ia bilik tapi ia luas, tanpa prasangka, penuh dengan imajinasi dan harapan.
Dulu, mudah saja buatku untuk mengutarakan 'Aku Suka' atau 'Aku Tidak Suka'. Aku jujur, dan aku baik-baik saja dengan kejujuranku. Aku menuliskannya di dalam buku, di atas meja, di permukaan tembok, dan di kertas-kertas lucu. Segalanya tampak sangat meyakinkan. Back then. Tidak ada yang keberatan dengan kejujuranku. Tidak juga aku.
Entah sejak kapan jujur menjadi sesuatu yang kini menakutkan buatku. Aku takut mengakui kalau aku takut. Aku takut mengakui kalau aku tidak suka. Aku takut mengakui kalau aku suka. Semuanya tampak abu-abu. Tidak benar-benar benar, tetapi juga tidak benar-benar salah. Aku takut menyakiti kalau aku mengakui. Aku takut orang lain menilaiku. Bahkan sebenarnya aku takut mengakui bahwa aku takut orang lain menilaiku. Berpura-pura kuat, berpura-pura dewasa. Aku bahkan tidak benar-benar yakin bahwa aku sudah dewasa.
Dunia sudah tidak sesederhana hitam dan putih. Kecuali memang dari awal, duniaku tidak pernah sesederhana hitam dan putih.
Terlalu banyak kepura-puraan. Tapi toh nyatanya aku bagian dari kepura-puraan itu sendiri. Tertawa dan pura-pura bahagia. Tidak ada yang tahu juga kalau sebenarnya aku lebih suka diam. Nah sekarang semua orang yang membaca blog-ku pasti tahu. Seperti kenyataan bahwa aku lebih suka diam. Diam itu sederhana. Tapi tidak akan ada yang mengerti artikulasi diam kalau aku tidak bicara. Belum kutemui sosok yang bisa bertahan dalam kesunyian obrolan. Belum kutemui sosok yang bisa mengerti bahasa diam. Tidakkah ada orang yang bisa mendengarkan bicara sekaligus diam ku? Maksudku, jika aku diam, diamlah dan dengarkan. Nikmati saja. Tidak semuanya harus diungkapkan dengan bahasa verbal, kan? Tapi aku juga tidak pernah merasa keberatan untuk menjadi sisi diriku yang lain. Sisi diriku yang aktif berbicara dan sibuk mengolah kata-kata verbal.
Hey, aku rindu dunia peri ku. Aku rindu dirimu.
--
Comments
Post a Comment