Kintsugi and Silver Lining

Doc. taken from here


Once my lecture said, "Data is just data. And yes, no one can change it. But the interpretation it self, it depend on us which might acknowledge it as an invention or a flaw."

Yes. Data nggak ada artinya, boy. Dia hanya berupa data. Dan nggak akan ada yang bisa mengubahnya. Itu adalah fakta. Tidak dapat diganggu gugat. Tapi yang bisa mengolah data itu dan menafsirkannya adalah kita. Kita yang menentukan arti dari data-data itu. Kita yang bisa bercerita, apa makna dari data itu. Dan bahwa hikmah dari data itu seperi apa, tentu saja kita yang menentukan. Dari data yang didapatkan, sangat mungkin hasilnya berkebalikan dengan hipotesa. Tapi tidak ada yang bilang bahwa berkebalikan dengan hipotesa berarti gagal. Berkebalikan dengan hipotesa malahan menjadi pintu baru peluang terbukanya sisi lain dari apa yang kita duga. See? There must be something, some silver lining of it self.

Senada seirama dengan statement Eyang Pram. Iya. Pramoedya Ananta Toer. Buat Eyang Pram, nyatanya, hidup sungguh sangat sederhana, yang hebat-hebat hanya tafsirannya. Hmm. Bisa jadi, hidup kita ini juga biasa-biasa saja. Yang hebat ya kita ini yang bisa-bisanya menafsirkan sedemikian indah dan seru. Dihias dengan backsound-backsound keren dan suara hati yang menggema di pikiran kita, bahkan kadang dibungkus dengan drama yang epic sekehendak sutradaranya. Tidak jarang kita bahkan mengalami kejadian yang membawa sedu sedan. Sehingga lagi-lagi, makna dari sedu sedan itu kita sendiri yang menafsirkannya.

Karena penafsiran hidup yang super sederhana ini tergantung kita, sehingga jelas saja kalau satu kejadian bisa menimbulkan multitafsir. Lha orang yang menafsirkan juga sekehendak hati orang. Maka tentu saja akan ada banyak sekali versi tafsiran atas suatu kejadian. Apalagi tafsiran atas drama hidup kita sendiri. Orang lain bisa jadi memaknainya beda. But it doesn't matter. What really matter is how do we interpret it. Iya. Masalahnya kan di kita sendiri.

Because, When you believe you can either you can't, you're right. Tafsir kamu akan hidup kamu, entah kamu bilang pitiful, beautiful, meaningful, bahkan boring full, yes you're right. Kamu benar. Dilihat dari versi kamu. Sehingga, bagaimana kamu memandang hidup kamu di sini menjadi penting juga. Sebab bagaimana kamu memandang hidup kamu, melihat diri kamu, dan segala kejadian yang terjadi pada kamu akan menentukan genre hidup kamu. Apakah genre religi, action, comedy, romance, drama, sci-fi, (lah malah film), atau yang lainnya. Dan cara pandang kamu terhadap hidup kamu tentu saja berpengaruh pada bagaimana cara kamu hidup. Kerennya, how'd you living your life.

Then, we've already know this phrase, that: Every cloud has a silver lining
dipopulerkan oleh John Milton dalam novelnya "Çomus: A Mask Presented at Ludlow Castle". Frasa yang menyatakan bahwa selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Atau umumnya, diartikan bahwa bahkan dalam kondisi terburuk pun, pasti punya sisi positifnya. The common expression "every cloud has a silver lining" means that even the worst events or situations have some positive aspect.John Milton dalam hal ini, tentu saja telah membuat penemuan yang cerdas dan dikenang sepanjang sejarah umat manusia, memberikan satu point view penyelamat mereka yang kehilangan cara pandang hidupnya. Tambahan ensiklopedi penafsiran hidup yang biasa-biasa saja bahkan cenderung menyedihkan.

Lain dengan Milton, di Jepang, secara turun temurun negara yang sarat budaya ini telah lebih dahulu mengenal teknik pottery Kintsugi. Finding treasure inside the life scars. So beautiful. Dalam teknik pottery, Kintsugi dikenal sebagai teknik untuk memperbaiki keramik yang pecah atau retak. Nah, yang menarik dai teknik ini adalah, dalam memperbaiki keretakan atau pecahannya, bukannya menutup bekas retaknya serapih mungkin agar tidak dikenali, malahan bekas retakan itulah yang menjadi point of interest dari keramik yang pecah itu. Pada bekas retakannya, direkatkan dengan emas, perak, atau platina. Tentunya ketiga bahan tersebut memiliki warna yang mencolok dan tidak mungkin luput dari mata. Hal ini membuat setiap keramik memiliki nilai yang berbeda. Sebab tentunya tidak ada keramik yang memiliki garis retakan yang sama.

Teknik Kintsugi ini sungguh indah. Secara filosofi dia tidak hanya mengajarkan untuk embracing the bad of ours. Bahkan, tidak hanya menerima keretakan kita tapi memamerkannya sebagai bagian dari diri kita yang membentuk apa adanya kita sekarang ini. Kita nggak hanya sampai pada menerima diri kita apa adanya, tapi bahkan bangga atas apa yang kita punya dengan menonjolkan sisi lain positif kita dari apa yang mulanya dianggap kebanyakan orang sebagai nilai negatif dari diri kita.

Jadi kalau digabungkan, teknik Kintsugi dan cara John Milton menyampaikannya melalui frasa silver lining dari sudut pandang saya, punya korelasi linier. Keduanya bisa jadi alternatif cara kamu menafsirkan hidup kamu yang biasa-biasa aja itu. Tapi tetap, kamu berhak memilih dan menentukan cara kamu sendiri menafsirkan kisah hidupmu.


Comments

Popular posts from this blog

70 Tahun

Pewean

Apakah kamu baik-baik saja?