Mencintai dan Dicintai Itu Tidak Pernah Mudah


Maka mencintai tidak pernah mudah.

Dua kata kerja itu bukan kata kerja yang mudah. Bahkan peluh pun tiada banding dengan betapa sulitnya melakukan kerja mendintai dan dicintai.

Kiriman ini sebenarnya adalah versi asli kepingan ide dari karya tulis semi resensi yang dikumpulkan sebagai tugas LK 3 BEM KMFA Kabinet Antusias Berkarya. Kepingan ide yang awalnya hanya berdasar dan berlandaskan pada naluri dan pencitraan indera, murni opini dan asumsi pribadi atas fenomena alam yang terjadi di sekitar saya.

Dari seseorang, dan dua pasang kawan, saya belajar bahwa nyatanya mencintai dan dicintai itu tidak pernah mudah. Awalnya ide saya ini begitu dangkal dan sempit terinspirasi dari hubungan antara keempat teman saya yang saya sebutkan sebelumnya. Dan ya, tidak se-brilliant dan semuluk apa yang saya paparkan pada tulisan yang saya kumpulkan sebagai tugas, ide yang muncul awalnya begitu kecil dan sederhana. Begitu rendah dan bisa jadi hina tidak bermakna.

Mana ada ya, orang yang mau menunggui sampai larut malam, sendirian, digigitin nyamuk, hanya untuk orang yang dicintainya? Yang bahkan ia terkarang ragu apakah orang itu juga memiliki rasa yang sama. Mana ada ya, orang yang mau hujan-hujan pergi mengantarkan makanan sejauh sekian kilometer hanya untuk orang yang bahkan entah apa iya mencintainya. Mencintai itu butuh perjuangan. Butuh banyak sekali pengorbanan. Bahkan sesekali tangis tumpah karena kelelahan. Tapi toh nyatanya ia tidak juga berhenti mencintai.

Begitupun dicintai. Saya pribadi, belum siap untuk dicintai. Untuk dimintai haknya untuk mencintai balik. Belum siap menerima begitu banyak pengorbanan yang bahkan saya sendiri tidak sanggup membalas pengorbanannya. Bahkan cinta dari kedua orangtua saya sendiri saja belum-belum saya penuhi. Belum lagi cinta pada manusia paling mulia sejagad raya yang bahkan sudah mencintai umatnya sejak bahkan baru berwujud tulisan di kitab lauhul mahfudz. Juga cinta dari Dzat Yang Maha Maha yang cintanya adalah hidup dan mati dari semua hamba-Nya. Jadi, apa pantas mencintai sebegitu besar melebihi cinta pada apa yang seharusnya dicintai?

Kalau saya teh masih jauh dari siap.

Pun juga saya nggak bisa membayangkan ada yang bisa mencintai sebesar dan setulus orang tua saya. Ketiga saudara kandung saya. Merely impossible. Makanya sejak awal pun saya tidak pernah memupuk harapan yang muluk tentang apa itu cinta dan segala hal macam yang berhubungan dengan hal itu.

Bicara soal pendamping, sepertinya saya nggak akan percaya dengan alasan cinta. Saya percaya bahwa keputusan untuk membuat komitmen sudah seharusnya didasarkan pada ideologi, visi, dan misi yang selaras. Bukan dengan cinta. Cinta kan bisa saja muncul seiring berjalannya waktu. Parahnya lagi, cinta sering disalahkaprahkan dengan nafsu. Makanya, kalau bicara soal cinta, bah, itu mah bullshit. Kecuali kalau memang benar berani mencintai karena Allah ta'ala.

Yang jelas, cinta itu bukan sesuatu yang diumbar dan dipamer-pamerkan di tepi jalan. Jadi, kalau apa yang dimaksud cinta di benakmu masih sesempit penafsiran dangkal ala ftv, sudah pasti kamu salah mengerti. Dan sudah pasti kamu tidak sejalan dengan saya. Kalau kamu berani berkata cinta, kamu telah berikrar pada semesta bahwa kamu siap menanggung segala amanah, risiko, dan tanggungjawab atas apa yang telah kamu minta.

-----
Finally tulisan ini unjuk publik, setelah direvisi berkali-kali, dan tetap hasilnya belum berhasil menunjukkan maksud saya seutuhnya dikarenakan pikiran yang kacau balau, Karena terusik, terpaksa tulisan ini unjuk publik. Pardon my words, peeps.

Comments

Popular posts from this blog

70 Tahun

Pewean

Apakah kamu baik-baik saja?