Bangku Cadangan [bagian 1]
![]() |
Taken from here |
Apa yang terjadi?
Si mbak pewawancara bertanya pada saya, "Tolong ceritakan apa keahlianmu."
Saya berpikir sejenak. Kalau si Mbak bertanya seputar kelebihan kekurangan, saya masih bisa menjawab. Kali ini si Mbak bertanya mengenai keahlian. Memang selama ini saya ahli di bidang apa?
Saya bisa menulis, cerpen, esai, puisi, artikel, saya bisa. Saya bisa menggambar, sketsa wajah, bangunan, bermain warna cat air, mendesain dengan corel draw, saya bisa. Saya bisa berbicara di depan umum, mempresentasikan sesuatu, memotivasi, saya bisa. Saya bisa menjadi pendengar yang baik, duduk diam dan menanggapi, saya bisa. Saya bisa memainkan alat musik, memainkan sedikit lagu dengan keyboard, mengingat dan mencari not, saya bisa. Saya bisa melakukan banyak hal yang bisa dikategorikan dalam suatu keahlian. Bisa. Tapi saya tidak pernah ahli. Saya tidak pernah menjadi yang paling. Saya selalu menjadi runner up, nomor dua, rujukan, second opinion, segalanya nomor dua. Dalam hal apapun. Apapun.
Jika ada sebuah kompetisi, maka saya tidak pernah menjadi nomor satunya. Paling bagus, saya bisa menyabet posisi nomor duanya. Ketika ada sebuah pemilihan, maka saya tidak akan pernah jadi kandidat utamanya, saya pasti ada di posisi cadangan. Ketika ada yang tidak yakin dengan pilihan pertamanya, ia akan mencari saya sebagai pilihan keduanya lalu bertanya dan membandingkan, sehingga ia akan kembali percaya pada pilihan pertamanya.
Assisting, assuring, connecting people. As always. I am.
"Jadi, apa keahlianmu, dek?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunan saya.
"Tidak ada mbak. Saya tidak punya keahlian."
Saya sadar, saya tidak pernah benar-benar ahli. Saya selalu menjadi nomor dua, cadangan, dan dinomorduakan. Bahkan, hanya untuk masalah sepele, siapa nama temanmu yang terlintas pertama kali di kepalamu ketika kamu butuh bantuan? Trust me, that would not be me. Tidak pernah.
"Kok nggak ada?"
"Saya nggak pernah jadi yang paling ahli mbak. Hmm, saya bisa melakukan banyak hal, tapi... Ya ibaratnya kalau ada rankingnya gitu, saya bukan peringkat pertamanya, saya pasti ada di peringkat di bawahnya. Nomor dua. Tapi ketika si nomor satu tadi tidak sanggup menjalankan tugasnya, saya selalu memiliki kompetensi untuk menggantikannya. Ya.. semacam second opinion, mbak."
"Kamu nggak boleh gitu, bukannya jadi orang kedua itu nggak pernah enak? Kamu pernah lihat drama korea belum sih dek? Jadi yang nomor dua itu biasanya perannya yang paling ngenes. Paling susah hidupnya."
Tiba-tiba mata saya berkaca-kaca. Entah, hanya tiba-tiba demikian. Tapi mana mungkin saya menangis di hadapan pewawancara saya? Yang benar saja?
"Haha, iya mbak, ya tapi gimana?"
"Kamu nggak bisa gitu terus, dek"
Macam mana nggak bisa gitu terus? Lantas saya harus bagaimana? Saya cukup tahu bahwa itu salah. Saya tahu betul bahwa itu tidak menyenangkan. Tapi lantas apa yang harus saya lakukan?
Dulunya saya membenci diri saya yang seperti ini. Tapi bolehkah saya berhenti sejenak dan mencoba untuk cukup mensyukurinya saja? Saya bersyukur dan saya cukup terima bahwa mungkin memang misi kelahiran saya di dunia memang sebagai konektor antara banyak manusia. Sebagai tempat assuring people, assisting, dan connecting. Bisa saja memang saya ada untuk itu? Bolehkah saya cukup terima saja?
Bolehkah saya cukup terima saja? Mungkin saya adalah nama manusia yang nomor dua terlintas di benak orang-orang di sekitar saya, tapi bagaimana kalau itu berlaku untuk semua orang? Bayangkan semuanya sama-sama meletakkan nama saya pada urutan nomor dua? Saya kira itu cukup impas. Jadi, apa saya masih perlu mengkhawatirkannya?
Langit masih peduli. Jadi kenapa saya harus khawatir?
For now, just let it flow.
28 Februari 2016
Dipublikasikan via Line
Comments
Post a Comment