Sepotong Hati yang Baru


Ini penghujung tahun.
Tapi masih juga belum bisa memaafkan ikhlas hati ini.
Ibarat kata larutan, belum juga ia netral, pH nya masih saja asam.

Sampai bila akan selalu masam?
Sampai bila terus mendendam?
Sampai bila terbakar kali tiada ikhlas?

Sulit betul memaafkan. Sulit betul untuk ikhlas. Allahu rabbi.

Sampai bila, ya Rabbi?

Sekali-kali ia terbang, menukik melukis senyum. Lantas ia dihempaskan jatuh menyisakan lengkungan kurva tertutup bentuk parabola. Bilamana bisa meminta biar saja ia terbang datar seperti biasanya. Agar tidak ada rasa-rasa yang meletup-letup yang congkak kali menganggap dirinya menghias jalan memberikan dinamika.

Katanya, itu pertanda bahwa hatimu belum mati. Katanya itu pertanda bahwa kamu masih punya hati. Apa aku harus meminta agar tak punya hati saja agar tidak perlu merasakan dinamika itu?

Katanya lagi, bangsa ini hanya siap dipimpin oleh orang-orang yang sudah selesai dengan urusan pribadinya. Dengan tulisanku yang demikian, jelaslah sudah bahwa aku belum usai dengan urusan pribadiku. Hendak memimpin apa? Bilamana memimpin hati ini supaya tetap diam dan tak bergejolak saja masih mengeluh, merintih, mengiba.

Sampai bila? Sampai bila hendak kau caci maki itu hati? Dia bisa merasa, seharusnya dikau sujud syukur. Bukan malah merutukinya dan memintanya hilang, pergi, bahkan mati. 

Berikan saja aku hati yang baru. Hati yang kuatnya seperti baja, yang tidak selemah dan secengeng yang kumiliki sekarang ini.

Bah! Kau minta hati yang baru? Tidak sekalian saja kau minta diri yang baru? Dimana rasa syukur dan terimakasihmu itu? Kalau hati yang kau miliki kini lemah dan cengeng, tentu itu murni karena dirimu. Kau yang memupuk bibit lemah dan cengeng itu. Kau perlakukan dia seolah-olah ia bayi. Kau suapi dan manjakan dia dengan syair-syair. Lalu kini kau minta hati yang baru? Yang benar saja? 

Tidak jadi.
Aku tidak jadi meminta hati yang baru. Berikan saja sepotong untuk menukar sepotong yang lainnya.


Ternyata... aku pernah meminta sepotong hati yang baru pada Tuhan. Barangkali itu sebabnya aku tidak bisa lagi menitikkan air mata seberapapun berat dan menyedihkannya hal yang aku alami. Barangkali itu yang membuat hati ini tidak lagi merasakan gejolak-gejolak ekstrim. Untuk mengeluh dan mengiba saja tidak kuasa. Karena sudah tidak lagi terasa sedemikian menyiksa. Hanya biasa saja. Hambar.

Ternyata... karena aku pernah meminta. Dan Tuhan berikan sesuai dengan yang aku minta.
Bukankah bagus?

Tapi rasanya... hambar.
Tidak bisa merasa itu melelahkan ternyata. Rasanya seperti hati yang batu. Takut-takut jangan-jangan Tuhan malah sedang menghukumku dan tertawa puas melihatku yang terjebak dengan harapanku sendiri. Bodoh.

Lalu sekarang bagaimana?
Entahlah. Rasanya biasa saja. Sesedih apapun seharusnya, tidak lagi terasa.
Pantas saja. Rasanya biasa saja selalu.
Mungkin Tuhan betul sudah mengganti hatiku dengan sepotong yang baru.
Aku hanya bisa menerka apakah ini adalah anugerah ataukah ujian?
Apakah ini hadiah atau hukuman?

Mari husnuzan saja. Ya?

Comments

Popular posts from this blog

70 Tahun

Pewean

Apakah kamu baik-baik saja?