KaKaEn Mengubahmu
"Kamu iteman ih"
Ya. Itu hanya salah satu diantara sih. Perubahan signifikan yang bisa kamu lihat adalah tone kulit gue yang makin menggelap. Sisanya, gue bukanlah saya yang dulu. Tidak seutuhnya. Tidak sepenuhnya. Tapi barangkali ada sebagian.
Kalau teman-teman lain menemukan cerita-cerita hebat pada momen kakaen-nya, cerita yang berakhir pada pengamatan dan refleksi diri, cerita kakaen gue jauh lebih sederhana dan sama sekali tidak muluk-muluk. Cerita kakaen gue sangat amat sederhana dan bahkan hanya sedikit saja yang barangkali bisa mengambil hikmah. Tapi berhubung manusia yang paling beruntung adalah yang paling pandai mengambil hikmah, jadi ya gue coba buat menggali faedah dari secuil pengalaman hidup gue di perkakaenan.
Firstly, dalam postingan ini gue sengaja menggunakan kata ganti gue alih-alih saya. Sadar atau nggak itu adalah salah satu perubahan signifikan lain yang bisa kamu temui pada diri saya akibat pengaruh kakaen. Yep. Frekuensi penggunaan kata ganti pertama 'gue' jadi lebih sering gue pakai. Well, sesungguhnya itu mengubah banyak. Gue jadi kedengeran makin nggak medhok waktu ngomong Bahasa Indonesia dan karenanya makin nggak kedengaran kaya orang Jawa. Oke sip. Tapi yang jelas salah satu alasan penggunaan kata ganti gue salah satunya adalah penyaluran alter ego yang lain dari seorang saya dan aku. Dyar. Bingung ra kowe?
Dengan menggunakan kata ganti gue, gue ngerasa bebas buatjadi diri gue apa adanya, yang bebas berpikir, liar, dan nggak takut buat jujur sama diri gue sendiri. Jadi sehitam-hitamnya diri gue, senakal-nakalnya diri gue. Seolah kata 'gue' berkawan dekat dengan ribuan kata umpatan macam 'jir', 'assem', 'govlok', 'bego', 'bangke', 'busuk', 'kamfretos' dan jenis umpatan yang lainnya. Sejujur-jujurnya utuh diri gue yang *insert umpatan here*. Dan bahkan dalam menuliskan ini gue pun nggak memikirkna akan seperti apa alurnya, isinya, bahkan formatnya. Semua murni karena ke'gue'an yang jujur dari diri gue.
Damn. Gue sadar di kakaen gue jadi anak 'nakal' sebentar. Meskipun tetep lah gue ngaji, gue sholat tepat waktu, tapi ada sih satu waktu yang aje gile gue sholat mepet banget dan gue ngerasa dosa banget. Tapi overall gue tetep beribadah dengan seutuhnya sesadarnya diri gue dan gue nggak malu dengan hal itu. Boom! Enggak. Nakalnya gue juga bukan terus gue lepas jilbab atau nggak menjaga hijab sih. Jilbab tetep. Itu mah udah jadi daily basic gitu. Hijab juga. Sampai dikatain cupu lah, kolot lah, ngga sopan lah karena salimnya udah kayak tari saman (kata seseorang suatu hari). Tapi sabodo teuing lah yeu. Itu kewajiban gue dan itu mutlak. Jadi, gue nggak akan sebodo itu buat nakal dan main-main dengan yang satu itu. Tapi memang sih, gue akuin soal hijab, di perkakaenan menjadi suatu tantangan sendiri buat teteup istiqomah. Apalagi kalau lu satu pondokan bareng sama cowok-cowok yang nggak ngerti hijab. Duh.
Nakalnya gue lebih ke... err, gue jadi lebih beringas. Gue jadi lebih berani buat sablak. Seriusan. Dan berani aja ngebercandain orang. Bahkan orang yang lebih tua. But in a good way hal itu menguatkan gue buat jadi pribadi yang lebih berani somehow. Meskipun itu nggak bisa serta merta dibenarkan juga sih. Tapi aseli, gue belajar siasat dan manfaatin orang cuy di perkakaenan. Tuh kan waton emang. Gue belajar buat 'bomat' dengan keadaan- keadaan yang tidak mnegenakkan dan menguntungkan. Bahasanya teh, nek kuat dilakoni nek ra kuat ditinggal ngopi. Aseeek. Dan itu secara tidak langsung membentuk sisi lain diri gue. Sebagai bonusnya adalah gaya bicara gue, perspektif gue, dan bahkan tulisan gue! Semua memiliki satu tambahan variasi. Yang mana varian tersebut bisa gue pakai sewaktu-waktu saat gue butuh atau saat.. yang tidak terduga.
Voila. Sekarang lu bisa menemukan tiga jenis Fani dalam diri gue. Alter ego dalam bentuk keguean, saya, dan keakuan. Gue nggak ngerti ini baik atau buruk. But let's just take the good side right?
Bonusnya, kalau lu lihat gue iteman karena kakaen, tapi lu ga akan lihat gendutan. Soalnya gue udah gendut sejak lahir. Boom!
Ya. Itu hanya salah satu diantara sih. Perubahan signifikan yang bisa kamu lihat adalah tone kulit gue yang makin menggelap. Sisanya, gue bukanlah saya yang dulu. Tidak seutuhnya. Tidak sepenuhnya. Tapi barangkali ada sebagian.
Kalau teman-teman lain menemukan cerita-cerita hebat pada momen kakaen-nya, cerita yang berakhir pada pengamatan dan refleksi diri, cerita kakaen gue jauh lebih sederhana dan sama sekali tidak muluk-muluk. Cerita kakaen gue sangat amat sederhana dan bahkan hanya sedikit saja yang barangkali bisa mengambil hikmah. Tapi berhubung manusia yang paling beruntung adalah yang paling pandai mengambil hikmah, jadi ya gue coba buat menggali faedah dari secuil pengalaman hidup gue di perkakaenan.
Firstly, dalam postingan ini gue sengaja menggunakan kata ganti gue alih-alih saya. Sadar atau nggak itu adalah salah satu perubahan signifikan lain yang bisa kamu temui pada diri saya akibat pengaruh kakaen. Yep. Frekuensi penggunaan kata ganti pertama 'gue' jadi lebih sering gue pakai. Well, sesungguhnya itu mengubah banyak. Gue jadi kedengeran makin nggak medhok waktu ngomong Bahasa Indonesia dan karenanya makin nggak kedengaran kaya orang Jawa. Oke sip. Tapi yang jelas salah satu alasan penggunaan kata ganti gue salah satunya adalah penyaluran alter ego yang lain dari seorang saya dan aku. Dyar. Bingung ra kowe?
Dengan menggunakan kata ganti gue, gue ngerasa bebas buatjadi diri gue apa adanya, yang bebas berpikir, liar, dan nggak takut buat jujur sama diri gue sendiri. Jadi sehitam-hitamnya diri gue, senakal-nakalnya diri gue. Seolah kata 'gue' berkawan dekat dengan ribuan kata umpatan macam 'jir', 'assem', 'govlok', 'bego', 'bangke', 'busuk', 'kamfretos' dan jenis umpatan yang lainnya. Sejujur-jujurnya utuh diri gue yang *insert umpatan here*. Dan bahkan dalam menuliskan ini gue pun nggak memikirkna akan seperti apa alurnya, isinya, bahkan formatnya. Semua murni karena ke'gue'an yang jujur dari diri gue.
Damn. Gue sadar di kakaen gue jadi anak 'nakal' sebentar. Meskipun tetep lah gue ngaji, gue sholat tepat waktu, tapi ada sih satu waktu yang aje gile gue sholat mepet banget dan gue ngerasa dosa banget. Tapi overall gue tetep beribadah dengan seutuhnya sesadarnya diri gue dan gue nggak malu dengan hal itu. Boom! Enggak. Nakalnya gue juga bukan terus gue lepas jilbab atau nggak menjaga hijab sih. Jilbab tetep. Itu mah udah jadi daily basic gitu. Hijab juga. Sampai dikatain cupu lah, kolot lah, ngga sopan lah karena salimnya udah kayak tari saman (kata seseorang suatu hari). Tapi sabodo teuing lah yeu. Itu kewajiban gue dan itu mutlak. Jadi, gue nggak akan sebodo itu buat nakal dan main-main dengan yang satu itu. Tapi memang sih, gue akuin soal hijab, di perkakaenan menjadi suatu tantangan sendiri buat teteup istiqomah. Apalagi kalau lu satu pondokan bareng sama cowok-cowok yang nggak ngerti hijab. Duh.
Nakalnya gue lebih ke... err, gue jadi lebih beringas. Gue jadi lebih berani buat sablak. Seriusan. Dan berani aja ngebercandain orang. Bahkan orang yang lebih tua. But in a good way hal itu menguatkan gue buat jadi pribadi yang lebih berani somehow. Meskipun itu nggak bisa serta merta dibenarkan juga sih. Tapi aseli, gue belajar siasat dan manfaatin orang cuy di perkakaenan. Tuh kan waton emang. Gue belajar buat 'bomat' dengan keadaan- keadaan yang tidak mnegenakkan dan menguntungkan. Bahasanya teh, nek kuat dilakoni nek ra kuat ditinggal ngopi. Aseeek. Dan itu secara tidak langsung membentuk sisi lain diri gue. Sebagai bonusnya adalah gaya bicara gue, perspektif gue, dan bahkan tulisan gue! Semua memiliki satu tambahan variasi. Yang mana varian tersebut bisa gue pakai sewaktu-waktu saat gue butuh atau saat.. yang tidak terduga.
Voila. Sekarang lu bisa menemukan tiga jenis Fani dalam diri gue. Alter ego dalam bentuk keguean, saya, dan keakuan. Gue nggak ngerti ini baik atau buruk. But let's just take the good side right?
Bonusnya, kalau lu lihat gue iteman karena kakaen, tapi lu ga akan lihat gendutan. Soalnya gue udah gendut sejak lahir. Boom!
Comments
Post a Comment