Manusia Setengah
![]() |
Doc. Taken from here |
"Semua yang kamu lakuin magel, Fan. Dikerjain tapi nggak jadi."
It called fail, Honey. Failure.
Ini yang kamu sebut gagal, Cintaku. Kegagalan yang hakiki.
Mau dikatakan berapa kalipun, dengan cara apapun, sebutan bagaimanapun, itu namanya gagal. Ketika kamu sudah berusaha dan usahamu harus terhenti, itu yang kau sebut gagal. Bisa jadi ia adalah kesuksesan yang tertunda. Tapi mau dikatakan bagaimanapun yang nampak sekarang ini hanyalah, kamu gagal. Kamu dan kegagalanmu.
Tadinya, aku pikir dengan berusaha dengan keras, totalitas, dan bahkan mati-matian, akan mengubah hasil yang kuperjuangkan. Tapi nyatanya hidup memang sebercanda itu. Kamu sudah berpeluh-peluh jungkir jumpalitan naik turun gunung menghalau badai topan tapi usahamu berakhir dengan tidak apa-apa. Berakhir dengan sebuah kehampaan.
Berkali. Kali. Tidak cukup sekali. Hal itu terus terjadi dan berulang kembali.
Ternyata berjuang tidak sesederhana itu. Bahkan setelah segala pertumpahan peluh dan air mata nyatanya masih tidak ada juga hasil nyata yang bisa kudapatkan. Kurasakan. Seolah segalanya tidak cukup untuk mengubah takdir.
Iya takdir. Yang dulu selalu kukambinghitamkan atas segala kegagalanku. Sampai akhirnya aku percaya bahwa kegagalanku ada karena aku tidak cukup berusaha. Yang aku kira aku terlalu cepat menyerah pada takdir. Nyatanya, lagi-lagi aku gagal memahami persoalan takdir ini.
Aku kembali bertanya. Sampai titik apakah seharusnya aku berusaha? Sampai titik mana suatu hal dapat diikhtiarkan? Pada batas apa hingga ikhtiarku bisa dicukupkan dan pada saat itulah ia telah mencapai ranah bertabir yang kau sebut takdir? Sampai titik mana?
Aku mencoba menerka dibalik semua halangan yang menghentikan gerak ikhtiarku. Apakah ini tanda karena ikhtiarku tidak cukup? Apakah ini pertanda bahwa bukan ini jalanku? Apakah ini pertanda bahwa Allah tidak ridha? Apa maknanya wahai Rabbi semesta alam? Apa? Apakah ini pertanda bahwa ikhtiarku sudah harus dicukupkan? Mengapa selalu di penghujung usahaku, Yaa Rabbi? Mengapa tidak sedari awal Engkau tunjukkan bahwa memang bukan ini jalanku?
Aku masih percaya bahwa selalu ada hikmah dibalik setiap kejadian. Maka yang bisa kulakukan hanya menerka dan berbaik sangka. Dan kembali pada diriku yang dulu, menyerahkan bahwa mungkin ini memang takdir. Takdir yang sama yang aku ceritakan pada kiriman-kiriman sebelumnya. Takdir yang membuatku berjalan di jalan yang tidak pasti. Jalan tengah. Karena aku manusia setengah.
Aku tidak pernah keberatan dengan segala kegagalan yang aku alami. Segala. Semua. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali niat baik yang kuikhtiarkan pupus di tengah jalan ketika segalanya sudah rapih bersih kukorbankan dan ternyata berujung pada kehampaan. Tidak sekalipun aku menyesalinya melainkan bersyukur atas segala luka yang ditinggalkannya. Sehingga berkali-kali mata ini basah karena mengingat Allah Yang Maha Segala. Tapi aku tidak pernah kuasa mengetahui betapa, betapa kecewanya ayah ibu dan adik-adikku.
"Semua yang kamu lakuin magel, Fan. Dikerjain tapi nggak jadi."
Mudah bagiku untuk menelan segala pil pahit dan gagal yang kuterima. Tapi tidak mudah membuat orang-orang di sekitarku untuk menelannya juga. Bahkan aku yakin pil pahit itu sama sekali bukan untuk mereka. Cukup aku saja. Tapi bagaimanalah, Yaa Rabbi. Sampai bila harus kututup rapat segalanya sendirian? Hamba lelah. Tapi hamba tidak mau membuat orang-orang yang hamba sayangi juga merasakan lelah yang sama atau bahkan lebih. Kalau bisa aku tutup segala luka, segala pedih, dan ekspresi meringis apapun dari mereka, maka tidak sedikitpun mereka akan tahu. Tapi mereka adalah keluargaku yang mengenal sedih luka dan bahagiaku bahkan tanpa aku mengedipkan mata. Bilamana mereka tahu, mereka akan jauh lebih sakit dari apa yang aku rasakan. Dan itu, lebih berat dari apapun juga.
Kalau harus merasa sakit, cukup akulah yang harus merasakannya.
Kalaupun harus gagal, cukup akulah yang gagal, bukan mereka atau yang lainnya.
Masalahnya, mereka sudah terlanjur sakit,
dan aku. Aku tidak tahu apa obatnya. Satu-satunya jalan adalah mengalihkan luka mereka dengan memberi harapan baru. Yang suatu hari nanti, mungkin saja ia akan berakhir sama seperti harapan-harapan yang dulu-dulu. Teronggok menjadi sampah hampa dan meninggalkan bekas luka di sudut jiwa.
Tapi apalah aku yang cuma bisa mengkonsumsi harapan dan berjuang pada kehampaan.
Nyatanya hidup memang sebercanda itu.
-Aku
Yang berlari mengejar kehampaan
Tidak berani berharap,
Berkawan dengan kegagalan.
Comments
Post a Comment