Hujan di Vielsburg

            Daun berguguran seiring dengan jatuhnya rintik hujan perlahan. Air sedikit demi sedikit ditumpahkan dari langit. Seekor kucing berjalan melintasi trotoar yang dingin dan basah. Kucing itu memiliki bulu berwarna hitam pekat. Si kucing berjalan di antara para pejalan kaki yang lalu lalang.
            Daun berhenti berguguran. Kini hujan turun semain deras. Para pejalan kaki mmepercepat langkahnya, sesekali tidak sengaja menendang tubuh si kucing yang kurus. Kucing itu hanya bisa mengeong pendek. Kucing itu memiliki nama yang indah. Holy Night. Kalung berkarat mengikat lehernya berkilau di bawah terang sinar lampu jalanan.
            “Miaw,” Holy Kningtduduk tepat di bawah lampu jalanan. Dia berkata, aku benci air. Tapi Holy Kningttetap tidak beranjak kemanapun juga. Matanya melebar seperti akan menangis.
            “Miaw,” Holy Kningtmemandangi rintik hujan yang mulai membuatnya kedinginan. Dingin, katanya. Trotoar itu kini menjadi sepi, para pejalan kaki yang tadi sibuk lalu lalang masuk ke dalam bangunan hangat mereka masing-masing, entah rumah, entah rumah makan, entah perpustakaan, atau bahka hanya sekedar halte bus.
            “Miaw,” Mereka pikir aku adalah kucing penyihir. Para manusia yang berada di dalam bangunan hangat itu memperhatikan Holy yang hanya duduk terdiam di tengah hujan.
            “Dia kucing penyihir kan? Minta dia supaya menghentikan hujannya. Sekarang aku tidak bisa bekerja.” Kata salah seorang di antara mereka. Manusia yang lainnya hanya mengangguk-angguk setuju.
            “Miaw,” Holy menatap balik tatapan jijik mereka. Mengapa tidak kau keluar saja dari tempatmu itu dan lanjutkan kerjamu? Holy menjilati tangannya yang semakin beku dan terasa dingin. Hujan hari itu benar-benar deras, seakan menahan para manusia jalan itu untuk beraktivitas.
            Setelah seharian penuh huja turun, para manusia itu tetap bertahan pada tempatnya. Badai melanda kota tempat mereka tinggal, tapi Holy tidak juga bergerak.
            “Sebenarnya apa yang dilakukan kucing itu di sana? Apa dia yang membuat Tuhan marah sehingga hujan turun begini deras?” Seorang pemuda di dalam sebuah rumah makan membuka suara dalam keheningan doa meminta agar hujan cepat reda.
            “Dia kucing penyihir. Lihat matanya yang biru tajam itu! Harus ada orang yang menyingkirkannya dari trotoar itu.” Seorang bapak paruh baya menghentak-hentakkan kakinya menunjukkan kemarahannya yang menggebu.
            “Aku malah heran mengapa kucing itu tidak cepat menyingkir dari tadi sedangkan hujan membasahinya. Kucing kan tidak suka air.” Pemuda itu menyangkal usulan si bapak.
            “Diamlah kau anak muda, ambil konsentrasimu untukmu berdoa.” Si bapak merasa diremehkan.
            “Baiklah.” Pemuda itu diam dan mengamati Holy yang tetap tidak bergerak.
            Masih hujan, semakin deras, masih badai, semakin kencang angin bertiup. Pepohonan bergoyang hebat seolah menarikan sebuah tarian untuk Holy diiringi dengan petikan tetesan hujan yang bergenderang.
            “Miaw,” Indah. Holy masih terpaku. Tubuhnya kini benar-benar membeku. Sehari semalam hujan mengguyur kota itu dan Holy masih diam di bawah sinar lampu.
            “Sudah sehari semalam aku berada di sini. Aku benar-benar harus bekerja. Apa-apaan dengan hujan ini?” Orang yang hari sebelumnya mengeluh karena tidak dapat beraktivitas itu sekarang benar-benar pegal untuk beranja dari duduknya yang nyaman.
            “Aku tidak mengerti mengapa si kucing tetap berada di sana sepanjang malam sampai sepagi ini.” Pemuda di dalam rumah makan menyeletuk memecah keheningan pagi. Para manusia yang lain sudah bosan berdoa. Mereka memilih tidur hingga pagi.
            “Diam kau bocah, aku masih mengantuk. Lanjutkan saja doamu.” Si bapak mengerang
            “Bagaimana dengan doa Anda sendiri?” Pemuda itu beranjak dari kursinya dan membua pintu rumah makan, berlari menembus hujan menjemput Holy di trotoar seberang.
            “Apa yang dilakukan bocah itu?” Seorang pelanggan rumah makan tersebut mendekat ke jendela dan membersihkan uap kaca mencoba untuk melihat apa yang dilakukan pemuda baik hati itu. Pelanggan yang lain beserta si bapak paruh baya ikut mengamati. Begitu pun dengan semua manusia jalan yang berteduh dalan bangunan hangat. Pandangan mereka tertuju pada pemuda dan seekor kucing yang bersama-sama melawan hujan.
            Holy hanya memandangi wajah si pemuda dengan tatapan tajam, namun tubuhnya melemas. Pemuda itu mencoba mengangkat Holy, namun Holy menghindar meski dengan susah payah.
            “Apa yang kau lakukan di tempat ini? Hujan sehari semalam dank au sama sekali tidak bergerak. Kau pasti kelaparan.” Pemuda itu memadang Holy dengan penuh kasih sayang.
            “Miaw,” Holy mengeong. Aku ingin membawa suatu perubahan. Holy menampakkan giginya yang tajam dan mengerang.
            “Oh tidak, kucing sialan itu akan mencoba untuk menggigit pemuda tampan itu!” Seorang wanita bermantel berteriak histeris.
            “Entahlah aku tidak berpikir begitu, mom.” Anaknya yang berdiri di sebelahnya tidak setuju dengan pendapat ibunya. Begitu pula seperempat manusia yang berdiri berjajar di sekeliling mereka.
            Pemuda itu mengernyitkan dahi tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan eongan Holy. Pemuda itu menunggui Holy dan duduk di sampingnya.
            “Namaku Steve. Namamu Holy Night. Salam kenal. Kalau kau tidak mau ikut bersamaku, aku akan ikut bersamamu.” Steve tersenyum kepada Holy. Holy membisu, tidak bergerak seperti biasanya, tapi dia tahu bahwa tubuhnya tidak membeku dan terasa hangat. Darahnya mengalir dengan lancar. Nafasnya yang memburu menimbulkan uap di sekitar hidungnya yang mungil.
            “Miaw,” Holy menengadah ke langit.
            “Sebentar lagi hujannya reda.” Steven terlihat sangat bahagia, sama seperti manusia yang lain.
            “Miaw,” Holy menundukkan kepalanya.
            “Entahlah, kami yang ada di kota ini tidak begitu suka dengan hujan. Karena hujan, kami tidak dapat beraktivitas.” Steven menerawang.
            “Miaw!” Holy mengeong keras. Hujan itu adalah berkah. Lagipula kalau kalian ingin beraktivitas, kenapa tidak kalian lakukan saja?! Tidak ada hubungannya dengan hujan.
            Steven mengamati gerak-gerik Holy. Steven mengerti mengapa Holy begitu marahnya dengan pernyataan Steven barusan.
            “Iya, kau benar. Memang tidak ada hubungannya dengan hujan. Maka dari itu aku berlari kemari dan menemanimu, karena hujan atau pun tidak, aku akan tetap ada di trotoar ini. Kalau tidak hujan, aku menampilkan atraksi, dan mendapat uang.” Steven tersenyum lagi. Holy memiringkan kepalanya.
            Manusia yang berada di dalam bangunan hangat mulai merasa bosan karena akhirnya Steven maupun Holy tidak melakukan apapun
            “Aku kira akan ada aksi saling pukul atau cakar.” Wanita bermantel itu memberengut. Anaknya menghela napas merasa jenuh dengan kelakuan ibunya.
            “Aku akan keluar, mom.” Anak itu berlari meninggalkan ibunya dan keluar menembus hujan yang tidak lagi deras. Satu per satu manusia-manusia itu tersadar bahwa tidak ada alasan untuk berhenti beraktivitas dalam hujan. Mereka berjalan keluar dan menyusuri trotoar itu seperti biasa. Hanya saja kini mereka menghampiri si bocah kecil, Steven dan Holy.
            “Aku menyesal pernah menandang kucing itu.”
            “Si kucing penyihir ya? Apa dia baik-baik saja?”
            “Aku minta maaf, err, Holy Knight!”
            Kerumunan itu sibuk berbicara dan meminta maaf pada Holy Knight. Steven tersenyum memandangi Holy yang terlihat bahagia. Steven mengelus kepala Holy dengan lembut.
            “Miaw,” Holy akhirnya menunduk lesu. Matanya yang biru bagaikan laut mulai terpejam. Ini yang aku maksud perubahan. Aku meminta Tuhan agar mereka tidak membenci hujan, seperti aku membenci hujan. Holy ambruk di tengah kerumunan itu. Semua terkejut dan berteriak histeris kecuali Steven. Steven membopong tubuh Holy yang ambruk.
            “Kau berhasil. Holy.” Steven memeluk tubuh Holy yang ternyata sama sekali tidak dingin. Sangat hangat meskipun basah oleh air hujan. Bertepatan dengan itu, huja pun reda, digantikan pelangi tujuh warna. Holy tersenyum dalam tidurnya yang panjang.
            Karena kejadian tersebut, si bapak paruh baya, wanita bermantel dan orang-orang yang tidak peduli ikut menitikkan air mata. Mereka nyaris tidak sadar, Holy telah membawa perubahan besar akan hidup mereka.
            “Sekarang turun hujan dari wajahku.” Wanita bermantel itu mengusap air matanya.
            “Tapi kau tetap bernafas kan?” Steven menepuk bahu sang wanita dan berlalu membawa Holy di gendongannya.
            “Ya. Aku tetap bernafas.” Kata wanita itu.
            Hujan badai waktu itu ternyata membawa berkah yang besar. Kekeringan yang melanda kota Vielsburg selama delapan bulan membuat lading tani menjadi tandus. Hujan waktu itu menyelamatkan tanah yang kering. Kini Vielsburg menjadi kota paling sibuk di dunia, karena mereka percaya, tidak ada hal yang bisa menghentikan niat dan tekad yang bulat.

***




 tidak ada hal yang bisa menghentikan niat dan tekad yang bulat.



Comments

Popular posts from this blog

70 Tahun

Pewean

Apakah kamu baik-baik saja?